Fajarnews.co – Setiap tahun pada 17 Agustus, bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan upacara berlangsung khidmat di berbagai pelosok negeri. Namun, di balik seremoni ini, muncul pertanyaan mendasar: sudahkah Indonesia benar-benar merdeka? Upacara yang berlangsung megah terkadang menyisakan kekosongan makna.
Proklamasi kemerdekaan pada 1945 adalah titik balik penting, namun tidak serta-merta menjadikan Indonesia sepenuhnya bebas. Belanda bahkan sempat kembali menjajah sebelum pengakuan internasional datang empat tahun kemudian. Filosof Prancis, Sartre, menyebut kemerdekaan sebagai “pembebasan kolektif”, namun Indonesia belum menuntaskan misi itu.
Ekonomi Indonesia hingga kini masih terikat pada cengkeraman asing. Sumber daya seperti emas, nikel, dan gas banyak dikuasai perusahaan luar negeri. “Kita mengekspor bahan mentah dan membeli produk jadi dengan harga berlipat,” tulis laporan tersebut, menggarisbawahi ketimpangan yang terjadi.
Di sisi lain, budaya lokal pun mengalami tekanan hebat. Media sosial dan platform digital lebih menonjolkan budaya global ketimbang warisan sendiri. “Anak-anak hafal K-pop tetapi tidak mengenal lagu daerah,” kata narasi dalam berita tersebut, menunjukkan realitas yang memprihatinkan.
Kondisi serupa terjadi dalam dunia keilmuan. Sebagian besar riset penting masih bergantung pada dana dan metode Barat. Ilmu pengetahuan yang kita adopsi, menurut laporan, didasarkan pada paradigma materialistik yang kurang mencerminkan nilai-nilai lokal bangsa.
Politik nasional juga belum sepenuhnya merdeka. Kesenjangan ekonomi yang mencolok menjadi bukti. “Data Oxfam 2022 mencatat 70 persen kekayaan dikuasai sekelompok orang,” tertulis dalam laporan, menggambarkan ketimpangan yang kian menganga.
Lebih lanjut, dominasi budaya asing perlahan mengikis rasa memiliki terhadap identitas sendiri. Gaya hidup, makanan, hingga perayaan perlahan mengikuti tren luar. Hal ini mengkhawatirkan, karena “lama-lama bisa lebih mengenal identitas orang lain daripada identitas sendiri”.
Kemerdekaan sejati, sebagaimana disimpulkan dalam laporan itu, adalah kemampuan mengelola sumber daya, budaya, dan ilmu pengetahuan secara mandiri. Proklamasi hanyalah awal, bukan akhir dari perjuangan. “Merdeka bukan sekadar kenangan sejarah, tetapi realitas yang hidup,” pesan penting yang perlu direnungkan setiap tahun.