Fajarnews.co, Samarinda – Sebuah diskusi publik digelar di Gedung Dekanat FKIP Universitas Mulawarman untuk memperingati dua abad perjanjian bersejarah antara Kesultanan Kutai dan Hindia Belanda. Acara ini diselenggarakan oleh SUMBU TENGAH, Program Studi Sejarah FKIP Unmul, dan Lasaloka-KSB.
Tanggal 8 Agustus dipilih bukan tanpa alasan. Dua ratus tahun lalu, tepat di tanggal yang sama, Sultan Kutai Aji Muhammad Salihuddin menandatangani perjanjian penting dengan utusan Hindia Belanda, George Muller, tanpa didahului konflik bersenjata.
Aji Mirni Mawarni, anggota DPD dan MPR RI asal Kalimantan Timur, hadir sebagai pembicara utama dalam forum tersebut. Dalam sambutannya, Mawarni menyampaikan pentingnya pelurusan sejarah berdasarkan sumber yang sahih. Ia juga membagikan buku Histori Kutai karya Sarip kepada peserta.
“Sebagai orang Kutai, saya merasa perlu meluruskan sejarah Kutai yang masih simpang siur di tengah masyarakat,” ujar Mawarni. Ia mengaku memfasilitasi penulisan buku tersebut bersama adiknya, dengan membuka akses arsip di ANRI dan wawancara dengan kerabat Sultan.
Sejarawan publik Muhammad Sarip menambahkan bahwa selama ini narasi sejarah nasional terlalu Jawa-sentris. “Peringatan Perang Diponegoro dirayakan sebulan penuh di Jakarta, sementara sejarah Kalimantan Timur seperti tidak mendapat tempat,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa perjanjian Kutai-Belanda 1825 mencerminkan hubungan tanpa paksaan militer. “Isinya terdiri dari sepuluh pasal dan dibuat tanpa ada konflik bersenjata sebelumnya,” jelas Sarip dalam forum tersebut.
Aji Muhammad Mirza Wardana dari Sempekat Keroan Kutai menilai bahwa kesepakatan itu bukan bentuk kolonialisasi. “Sultan tentu mempertimbangkan secara cermat keuntungan dan kerugian sebelum menyepakatinya,” ujarnya.
Muhammad Azmi, dosen Sejarah FKIP Unmul, membacakan isi perjanjian dalam aksara Arab Melayu. “Kalau kita lihat isinya, ini lebih seperti kontrak dagang dibandingkan dengan dokumen penjajahan,” terangnya di hadapan peserta.
Forum tersebut juga diisi dengan visualisasi naskah asli perjanjian yang telah didigitalisasi. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan bukti autentik kepada publik tentang sifat perjanjian itu.
Rusdianto, sebagai moderator sekaligus founder SUMBU TENGAH, menutup acara dengan pernyataan penting. “Kita tidak bisa menunggu pusat untuk mengakui sejarah kita. Literasi sejarah bukan sekadar seremoni. Ia harus berdiri di atas fondasi riset dan sumber primer,” tegasnya.