Fajarnews.co, Jakarta – Seorang prajurit muda TNI Angkatan Darat bernama Prada Lucky Cepril Saputra Namo meninggal dunia pada Rabu (6/8) pukul 10.30 WITA setelah sempat dirawat selama empat hari di RSUD Aeramo, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Kepergiannya memunculkan duka mendalam serta kemarahan besar dari pihak keluarga.
Korban diduga mengalami penganiayaan berat oleh beberapa seniornya di dalam lingkungan asrama militer tempat ia baru ditempatkan. Tragedi ini menjadi perhatian serius di tengah upaya TNI menjaga citra profesionalisme dan disiplin internalnya.
Prada Lucky diketahui baru menyandang status sebagai anggota TNI AD selama dua bulan setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Calon Tamtama (Secatam) TNI AD, Singaraja, Bali. Pada akhir Mei 2025, ia dilantik, dan sejak Juni, langsung ditempatkan di Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, Nagekeo.
Paman korban, Rafael David, menyebut bahwa Lucky sangat bangga bisa mengenakan seragam loreng. “Dia baru dua bulan jadi tentara, dia selesai pendidikan Bulan Mei, lalu Juni di tempatkan di sana (Yon TP 834/WM),” ujarnya saat ditemui di rumah duka.
Ayah kandung korban, Sersan Mayor Kristian Namo, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan dan kesedihan mendalam atas kematian putranya. Ia menuntut proses hukum yang tegas terhadap para pelaku penganiayaan yang menyebabkan anaknya meninggal dunia. “Saya tuntut keadilan, kalau bisa semua dihukum mati biar tidak ada Lucky-Lucky yang lain, anak tentara aja dibunuh apalagi yang lain,” katanya di ruang jenazah RS Wirasakti Kupang. Menurutnya, hanya dua hukuman yang pantas bagi pelaku: hukuman mati dan pemecatan.
Sepriana Paulina, ibu kandung Lucky, tidak kalah terpukul melihat kenyataan pahit bahwa anak yang selama ini ia perjuangkan menjadi prajurit TNI justru tewas secara tragis. Ia menyebut bahwa andai putranya gugur di medan perang, itu masih bisa diterima dengan lapang dada. “Saya punya anak sudah mati sia-sia. Kalau mati di medan perang saya terima, itu tugas dia bela negara, bela bangsa. Ini mati sia-sia di tangan senior,” ungkap Sepriana. Ia juga mengaku sangat sakit hati karena anaknya sempat delapan kali gagal tes masuk TNI sebelum akhirnya berhasil.
Keterangan yang diperoleh dari Sepriana mengungkap bahwa korban sempat disiksa dengan cambuk oleh para seniornya hingga tubuhnya mengalami luka parah.
Dalam kondisi lemah, Lucky disebut-sebut melarikan diri ke rumah ibu angkatnya dan sempat mengadu bahwa dirinya “dicambuk”. “Setahu saya dia waktu minta tolong ke mama angkatnya waktu dia kena pukul pertama dicambuk itu dia bilang mama saya dicambuk,” ucapnya. Ia menyebut tubuh Lucky saat itu dalam kondisi hancur—tangan, kaki, dan punggung penuh luka.
Pihak RSUD Aeramo membenarkan adanya lebam di sekujur tubuh Lucky, walau belum memberikan rincian lebih lanjut terkait luka lain yang ditemukan. Direktur rumah sakit, Chandrawati Saragih, menyampaikan bahwa pihaknya akan mengumpulkan data medis lebih dahulu sebelum memberikan pernyataan resmi. “Benar ada lebam,” ujarnya singkat saat dikonfirmasi media. Dugaan sementara mengarah pada penganiayaan berat yang menyebabkan trauma fisik fatal pada korban.
Untuk kepentingan penyelidikan, Polisi Militer TNI telah menangkap empat orang prajurit yang diduga terlibat langsung dalam aksi kekerasan terhadap Lucky. Letkol Czi Deny Wahyu Setiyawan, Dandim 1625 Ngada, menyampaikan bahwa para pelaku sudah ditahan di Subdetasemen Polisi Militer Ende. “Betul, sudah ada (empat prajurit TNI) yang diamankan oleh pihak POM yang terindikasi kuat melakukan penganiayaan hingga korban mengalami trauma berat saat masuk ICU,” jelas Deny. Namun, identitas mereka belum dipublikasikan.
Sementara itu, Kodam IX/Udayana memastikan proses investigasi akan dilakukan secara menyeluruh dan transparan. Sebanyak 20 prajurit yang tergabung dalam satuan yang sama dengan Lucky telah dimintai keterangan sebagai saksi. “Yang kita terima itu informasi sekitar 20 orang, tetapi dalam kapasitas dimintai keterangan,” ujar Letkol Inf. Amir Syarifudin, Waka Pendam IX/Udayana. Ia menegaskan, “Kita tetap menjunjung tinggi hukum termasuk yang empat orang itu kita menggunakan azas praduga tak bersalah.”